Jumat, 06 November 2009

gambaran mekanisme koping pada pasien hemodialisis

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik secara fisik maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah manusia akan dapat melakukan segala sesuatu secara optimal. Tetapi pada kenyataannya selama rentang kehidupannya, manusia selalu dihadapkan pada permasalahan kesehatan dan salah satunya berupa penyakit yang diderita (Patricia, 2005).
Syamsuddin (2009) memaparkan bahwa jenis penyakit yang diderita bentuknya beraneka ragam, ada yang tergolong penyakit ringan dimana dalam proses pengobatannya relatif mudah dan tidak terlalu menimbulkan tekanan psikologis pada penderita. Tetapi, ada juga penyakit yang berbahaya dan dapat menganggu kondisi emosional salah satunya yaitu penyakit gagal ginjal kronik.
Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis (Iskandarsyah, 2006).
Sampai saat ini penderita penyakit gagal ginjal tergolong banyak, menurut data dari Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) pada tahun 2001 di seluruh dunia terdapat 1,1 juta orang menjalani dialisis kronik, serta diproyeksikan pada tahun 2010 menjadi lebih dari 2 juta orang. Di Indonesia sendiri, angka kejadian gagal ginjal terminal berada pada 100 pasien baru setiap 1 juta penduduk per tahun.
Di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, jumlah kunjungan rawat jalan dengan diagnosa gagal ginjal pada tahun 2006 sebanyak 3413 kunjungan, tahun 2007 sebanyak 3333 kunjungan, tahun 2008 sebanyak 2567 kunjungan, dan pada tahun 2009 (Januari – maret) jumlah kunjungan sebanyak 1078 kunjungan (Rekam Medik RS. Labuang Baji Makassar, 2009).
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar merupakan salah satu dari beberapa Rumah Sakit di Kota Makassar yang menyediakan pelayanan hemodialisis, dan sampai Juli 2009 jumlah pasien yang menjalani terapi hemodialisis berjumlah 35 Pasien.
Clinar S, Barlas GU, Alpha SE (2009) melakukan penelitian dengan judul Stressors and coping strategies in hemodilysis patients, mendapatkan 24 stressor yang dapat muncul pada pasien hemodilaisis, diantaranya keterbatasan, kelemahan, ketidakpastian masa depan, keterbatasan aktifitas, dan ketergantungan hidup terhadap mesin hemodialisis.
Penyakit ginjal menyebabkan pasien mengalami permasalahan-permasalahan yang bersifat fisik, psikologis, dan sosial yang dirasakan sebabagi kondisi yang menekan. Dan permasalahan psikologis yang dialami pasien gagal ginjal kronik ditunjukkan dari sejak pertama kali pasien divonis mengalami gagal ginjal kronik (Iskandarsyah, 2006).
Dari observasi awal serta wawancara singkat dengan kepala ruangan hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar, didapatkan perubahan fisik yang terjadi pada mereka yang menjalani hemodialisis yaitu pruritus (gatal-gatal pada kulit), kering, dan belang yang merupakan efek dari proses hemodialisis.
Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, maka penulis ingin mengetahui gambaran mekanisme koping pada pasien yang menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut diatas, penulis dapat merumuskan masalah penelitian yaitu “Bagaimanakah mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi jenis mekanisme koping pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar



D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan ilmiah bagi peningkatan ilmu pengetahuan, terutama yang terkait dengan mekanisme koping pasien hemodialisis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat ruang hemodialisis tentang mekanisme koping yang digunakan oleh pasein yang menjalani terapi hemodialisis.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sedang menjalani terapi hemodialisis.
4. Sebagai bahan bacaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti berikutnya.
5. Sebagai latihan dan pengalaman berharga bagi peneliti untuk mengetahui mekanisme koping yang digunakan oleh pasien hemodialisis dan dapat menerapkannya dilapangan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Tentang Gagal Ginjal Kronik
1. Definisi
Smeltzer (2002) menjelaskan gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Penyakit gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (end-stage ginjal disease, ERDS) adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsi ginjal yang diakibatkan oleh proses kerusakan ireversibel (Patricia, 2006).
Gagal ginjal kronik menurut Corwin (2006) yaitu destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi ginjal perlahan yang mengakibatkan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh terganggu. Hal ini terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal yang lebih lanjut akan dibahas pada etiologi gagal ginjal kronik.


2. Etiologi
Price & Wilson (2006) mengklasifikasikan sebab-sebab gagal ginjal kronik dalam tabel berikut.
Tabel 2.1. Klasifikasi sebab-sebab gagal ginjal kronik
Klasifikasi Penyakit Penyakit
- Infeksi
- Penyakit peradangan
- Penyakit vascular hipersensitif

- Gangguan jaringan penyambung


- Gangguan congenital dan herediter

- Penyakit metabolik



- Nefropati toksik

- Nefropati obstruktif - Pielonefritis kronik
- Glomerulonefritis
- Nefrosklerosis benigna
- Nefrosklerosis maligna
- Lupus eritemotosus sistemik
- Poliarteritis nodosa
- Sklerosis sistemik progresif
- Penyakit ginjal polikiistik
- Asidosis tubulus ginjal
- Diabetes mellitus
- Gout
- Hiperparatiroidisme
- Amiloidosis
- Penyalahgunaan analgesic
- Nefropati timbale
- Saluran kemih bagian atas : kalkuli, neoplasma, fibrosis retinoperitoneal
- Saluran kemih bagian bawah : hipertrofi prostat, striktur uretra, anomaly congenital pada leher kandung kemih dan uretra




3. Tanda dan gejala
Smeltzer (2002) dalam buku ajar keperawatan medikal bedah menjelaskan tanda dan gejala gagal ginjal kronis.
Tabel 2.2. Tanda dan gejala gagal ginjal kronik
Kardiovaskuler Hipertensi
Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
Edema periorbital
Friction rub perikardial
Pembesaran vena leher
Integrumen Warna kulit abu-abu mengkilat
Kulit kering, bersisik
Pruritus
Ekimosis
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
Pulmoner Krekels
Sputum kental dan liat
Nafas dangkal
Pernafasan kussmaul
Gastrointestinal Nafas berbau amonia
Ulserasi dan pendarahan pada mulut
Anoreksia, mual dan muntah
Konstipasi dan diare
Perdarahan dari saluran GI
Neurologi Kelemahan dan keletihan
Konfusi
Disorientasi
Kejang
Kelemahan pada tungkai
Rasa panas pada telapak kaki
Perubahan perilaku
Muskuloskeletal Kram otot
Kekuatan otot hilang
Fraktur tulang
Foot drop
Reproduksi Amenorea
Atrofi testikuler

4. Stadium
Seperti pada pembahasan sebelumnya, penurunan fungsi ginjal tidak berlangsung secara sekaligus, melainkan berlangsung seiring berjalannya waktu.
Apabila masalah pada ginjal dapat dideteksi sedini mungkin maka terapi untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal dapat dilakukan dengan cepat untuk sebisa mungkin penurunan fungsi ginjal tersebut tidak mencapai stadium akhir. Untuk itu penting bagi penderita mengetahui pada stadium berapa penyakit ginjal kronik yang dideritanya agar tim medis dapat memberikan terapi yang tepat (Hartono, 2008).
Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) (2008) membagi 5 stadium penyakit gagal ginjal kronik yang ditentukan melalui penghitungan nilai glumelular filtration rate (GFR)
a. Stadium 1, dengan GFR normal (>90 ml/min)
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s/d 29 ml/min)
e. Stadium 5, penyakit gagal ginjal stadium akhir / terminal (>15 ml/min)
5. Penatalaksanaan
Smeltzer (2002) memaparkan bahwa tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatis selama mungkin.
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (2006) menjelaskan bahwa penatalaksanaan tahapan gagal ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang masih tersisa, bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservasif yang berupa diet, pembatasan minum, obat dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama Gagal Ginjal Terminal (GGT).
Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis (Iskandarsyah, 2006).
Secara umum FKUI (2006) dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam membagi jenis terapi pengganti menjadi :
Tabel 2.3. Berbagai Jenis Terapi Pengganti
I. Dialisis
A. Dialisis
- DP intermiten (DP)
- DP mandiri berkesinambungan (DPMB)
- DP dialirkan berkesinambungan (DPDB)
- DP noktural (DPN)
B. Hemodialisis (HD)
II. Transplantasi ginjal (TG)
TG donor hidup (TGDH)
TG donor jenazah (TGDJ)

FKUI (2006) membahas bahwa terapi hemodialisis dibutuhkan apabila fungsi ginjal seseorang telah mencapai tingkatan terakhir (stadium 5) atau lebih lazim dengan gagal ginjal terminal dan pada keadaan ini hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah kedalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Hemodialisis akan dipaparkan secara jelas pada pembahasan selanjutnya.



















B. Tinjauan Tentang Hemodialisis
1. Definisi
Hemodialisis adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat sisa nitrogen yang terdiri atas ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan elektrolit seperti kalium, fosfor, dan lain-lain yang berlebihan pada klien gagal ginjal kronik, khususnya pada GGT (Hartono, 2008).
Corwin (2006) menjelaskan hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh. Pada prosedur ini darah dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter dan masuk ke dalam sebuah alat besar (mesin) yamng memiliki membran semipermeabel.
Hemodialisis adalah tindakan untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebih (Smeltzer, 2002).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hemodialisis merupakan tindakan mengeluarkan zat sisa metabolisme dan cairan berlebih melalui membran semi permiabel dengan prinsip dialisis.
2. Indikasi dan Kontra indikasi
Indikasi hemodialisis yaitu gagal ginjal yang tidak lagi dapat dikontrol melalui penatalaksanaan konservatif, pemburukan sindrom uremia yang berhubungan dengan EDRS (mis, mual, muntah, perubahan neurologis, kondidi neuropatik, perikarditis), gangguan cairan atau elektrolit berat yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhatan (Patricia, 2006).
Sabatine (2004) memaparkan kontra indikasi yaitu ketidakstabilan hermodinamik, aritmia, dan perdarahan.
3. Prinsip kerja

Gambar 2.1. Gambar skematik sistem hemodialisis

Smeltzer (2002) menjelaskan ada 3 prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu :
a. Difusi, toksik dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah (konsentrasi tinggi) ke cairan dialisat (konsentrasi rendah).
b. Osmosis, air yang berlebih dikeluarkan melalui proses osmosis, pengeluaran air dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan ; air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
c. Ultrafiltrasi, gradien dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai untrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air.
Patricia (2006) menjelaskan proses hemodialisis dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan) yang memindahkan produk limbah yang terakumulasi dari darah ke dalam mesin dialisis. Pada mesin tersebut, cairan dialisat dipompa melalui salah satu sisi membran filter, sementara darah klien keluar dari sisi yang lain.
4. Komplikasi
Smeltzer (2002) Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada hemodialisis yaitu :
a. Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
c. Nyeri dada, dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh
d. Pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
f. Kram otot yang nyeri, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel
5. Perubahan yang terjadi pada pasien hemodialisis
Orang dengan penyakit kronis menghadapi perubahan permanen dalam gaya hidupnya, ancaman, martabat dan harga diri, gangguan transisi hidup normal dan penurunan sumber-sumber. Hal ini diperkuat dengan hasil survey, pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis lebih dari 4 tahun maka ia telah mulai dapat menyesuaikan diri dengan penyakitnya (Iskandarsyah, 2006).
YDGI (2008) menjelaskan perubahan yang terjadi pada pasien hemodialisis antara lain :
a. Problem kulit, seperti gatal-gatal (pruritus), kulit kering (xerosis), kulit belang (skin discoloration).
b. Rasa mual dan lelah.
c. Masalah tidur, gangguan tidur dialami sekitar 50-80% pasien yang menjalani terapi hemodialisis.
Lubis (2006) terjadinya perubahan dan gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisis, menyebabkan pasien harus melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa hidupnya. Penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian terhadap perubahaan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi pada orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup. Untuk lebih jelasnya, pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang mekanisme koping.












Gambar 2.2. Mesin Hemodialisis








C. Tinjauan Tentang Mekanisme Koping
1. Definisi
Siswanto (2007) Koping dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan, atau ancaman. Jadi koping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi.
Penyesuaian diri dalam mengahadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah koping (Lubis, 2006).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa koping merupakan reaksi individu ketika menghadapi suatu tekanan atau stres.
2. Jenis-jenis koping
Dalam Siswanto (2007) terdapat dua ahli atau pakar besar yaitu lazarus serta Harber & Runyon membagi jenis-jenis koping secara berbeda. Untuk memudahkan pembagian jenis koping akan dibagi berdasarkan teori kedua ahli tersebut secara terpisah :
a. Lazarus, 1976, dalam Siswanto (2007) membagi koping menjadi dua jenis yaitu :
1) Tindakan langsung (Direct Action)
Koping jenis ini adalah setiap usaha tingkah laku yang dijalankan individu untuk mengatasi kesakitan atau luka, ancaman, atau tantangan.

Terdapat 4 macam jenis koping tindakan langsung (Direct Action) yaitu :
a) Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka, seperti antisipasi.
b) Agresi, merupakan tindakan individu dengan menyerang agen yang dinilai mengancam atau akan melukai.
c) Penghindaran (Avoidance)
d) Apati, jenis ini merupakan pola orang yang putus asa. Apati dilakukan dengan menerima begitu saja.
2) Peredaan atau peringanan (Pallation)
Jenis koping ini mengacu pada mengurangi, menghilangkan, atau mentoleransi tekanan-tekanan. Ada 2 macam koping dengan jenis ini, yaitu :
a) Diarahkan pada gejala (Symptom direct modes), dengan mengurangi gangguan yang disebabkan oleh tekanan tersebut.
b) Cara intrapsikis (Intrapsychis modes) atau Mekanisme pertahanan diri (Defense Mechanism), merupakan koping yang bersifat menyaring realita, terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi sehingga digolongkan kepada koping yang tidak sehat (destruktif) kecuali sublimasi.
Macam-macam koping ini terdiri dari ; Identifikasi, Pengalihan (Displacement), Denail, Reaksi formasi, Dorongan yang mengancam, Proyeksi, Rasionalisasi, dan Sublimasi.
b. Harber & Runyon, 1984, dalam Siswanto (2007) membagi jenis koping konstuktif yang terdiri dari :
1) Penalaran, mengunakan kemampuan kognitif.
2) Objektifitas, pembedaan anatara emosional dan logis dalam pemikiran serta penalaran.
3) Konsentrasi, kemampuan memusatkan perhatian secara penuh.
4) Humor, melihat segi yang lucu dari persoalan yang sedang dihadapi.
5) Supresi, kemampuan menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada.
6) Toleransi terhadap kekhawatiran atau amibuitas, yaitu kemampuan memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan yang bersifat tidak jelas.
7) Empati, melihat sesuatu dari pandangan orang lain
c. Maramis (2005) menjelaskan cara menghadapi stres, yang lebih lazim dikenal dengan strategi koping, diantaranya :
1) Cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas (task oriented). Cara ini bertujuan menghadapi tuntutan secara sadar, realistis, obyektif dan rasional. Cara ini mungkin terbuka ataupun mungkin terselubung dan dapat berupa :
a) serangan atau menghadapi tuntutan secara frontal (terang-terangan) ;
b) penarikan diri atau tidak mau tahu lagi tentang hal itu ;
c) kompromi.
2) Berorientasi pada pembelaan ego (ego defence-oriented), yang bertujuan utama melindungi diri kita sendiri terhadap rasa devaluasi diri dan meringankan ketenangan serta kecemasan yang menyakitkan. Diataranya :
a) Fantasi : keinginan yang tak terkabul dipuaskan dalam
imajinasi
b) Penyangkalan : tidak berani melihat & mengakui kenyataan yang
menakutkan.
c) Rasionalisasi : berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatannya
(yang sebenarnya tidak baik) rasional adanya, dapat
dibenarkan dan dapat diterima.
d) Identifikasi : menambah rasa harga-diri dengan menyamakan
dirinya dengan seorang atau suatu hal yang
dikaguminya.
e) Introyeksi : individu menerima dan memasukkan ke dalam
pendirinannya berbagai aspek keadaan yang
mengancamnya.
f) Represi : secara tidak sadar menekan pikiran yang berbahaya
dan yang menyedihkan keluar dari alam sadar
kedalam tak-sadar.
g) Regresi : kembali ke taraf perkembangan yang sudah dilalui.
h) Proyeksi : menyalahkan orang lain mengenai kesulitannya
sendiri atau melemparkan kepada orang lain
keinginanya sendiri yang tidak baik.
i) Penyusunan reaksi : supaya tidak menuruti keinginan yang jelek, maka
sebagai pengalang diambil sikap dan perilaku yang sebaiknya, tetapi secara berlebihan.
j) Sublimasi : nafsu yang tak terpenuhi (terutama seksual) disalurkan
kepada kegiatan lain yang dapat diterima oleh
masyarakat.
k) Kompensasi : menutupi kelemahan dengan menonjolkan sifat yang
baik.
l) Salah-pindah : emosi, dalam arti simbolik atau fantasi terhadap
seseorang atau seuatu beda, dicurakan kepada
seseorang atau suatu benda lain, yang biasanya lebih
kurang berbahaya daripada yang semula.
m) Pelepasan : meniadakan atau membatalkan suatu pikiran,
kecenderungan atau tindakan yang tidak disetujui.
n) Penyekatan emosi : individu mengurangi tingkat keterlibatan
emosionalnya dalam keadaan yang dapat
menimbulkan kekecewaan atau yang menyakitkan.
o) Isolasi : merupakan suatu bentuk penyekatan emosional, beban
emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan,
diputuskan atau diubah (distorsi).
p) Simpatisme : berusaha mendapatkan simpati dengan jalan
menceritakan “berbagai kesukarannya”.
q) Pemeranan : mengurangi kecemasan yang dibangkitkan oleh
berbagai keinginan yang terlarang dengan
membiarkan ekspresinya dan melakukannya.
Ke-17 ego oriented ini dikatakan koping mal adaptif bila digunakan secara terus menerus, karena sifat dari koping ini tidak realistis, mengandung banyak penipuan pada diri sendiri, bekerja secara tidak disadari & susah dievaluasi secara sadar (Maramis, 2005).
d. Spirito dan Stark 1993, dalam Sarabia (2007) lebih bervariasi membagi tiga strategi koping, yaitu :
1) Strategi koping menghindar (avoidant-coping)
Koping menghindar ini dicirikan dengan penggunaan ; pengalihan (distraction), penarikan diri sosial (social withdrawal), berkhayal (wishful thinking), dan pengunduran diri (resignation).
2) Strategi koping negatif (negative-coping)
Dicirikan dengan adanya penggunaan ; mengkritisi diri (self-criticism), mencari kompensasi negatif seperti penyalahgunaan narkoba & alkohol (substance abuse), dan menyalahkan orang lain (blaming others) ketika menghadapi situasi yang menekan atau masalah.
3) Koping aktif (active-coping)
Dicirikan individu menggunakan pemecahan masalah (problem solving), melakukan regulasi emosi (emotional regulation), melakukan restrukturisasi kognitif (cognitiv restructuring), dan mencari dukungan sosial (social support seeking).
3. Hubungan antara stres, stressor, dan koping
Yosep (2007) menjelaskan bahwa stres diawali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi pula tingkat stres yang dialami individu, dan akan merasa terancam.
Stressor merupakan sumber stres atau penyebab stres, Yosep (2007) menjelaskan beberapa penyebab stres diantaranya perkawinan, problem orang tua, pekerjaan, keluarga, dan penyakit fisik.
Bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang sehat dengan stres yang dihadapi, meskipun stres atau tekanan tersebut tetap ada, individu yang bersangkutan tetaplah dapat hidup secara sehat. Bahkan tekanan-tekanan tersebut akhirnya justru akan memungkinkan individu untuk memunculkan potensi-potensi manusiawinya dengan optimal. Penyesuaian diri dalam mengahadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah koping (Lubis, 2006).
Siswanto (2007) menjelaskan bahwa koping juga dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan, atau ancaman.
Stres mungkin terjadi terutama pada bidang badaniah (stres fisik atau somatik), seperti infeksi dan penyakit lainnya yang menggerakkan mekanisme penyesuaian somatik agar mengembalikan keseimbangan. Reaksi ini boleh berupa pembentukan zat anti kuman atau zat anti racun : butir-butir darah putih dimobilisasi dan dikerahkan ke tempat invasi kuman itu, lebih banyak kortison dan adrenalin dilepaskan, dan sebagainya (Maramis, 2002).
Dari beberapa penjelasan diatas dapat dihubungkan antara stres, stressor, dan koping. Stres merupakan respon yang muncul karena terjadinya tekanan yang disebut dengan stressor, ketika seseorang mengalami stres karena stressor yang didapatkan maka diperlukan koping untuk menghadapi stres tersebut.





















D. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada pasien hemodialisis
1. Usia
Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa lebih mampu mengontrol stress dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut (Siswanto, 2007).
Patricia (2006) menjelaskan masa dewasa awal adalah periode akhir remaja yaitu >18 tahun, dimana masa dewasa adalah periode yang penuh tantangan, penghargaan dan krisis.
Indonesiannursing (2008) memaparkan usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan, masa depan dan pengambilan keputusan. Usia juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan perawatan hemodialisis.
Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin tua umur seseorang akan terjadi proses penurunan kemampuan fungsi organ tubuh (regeneratif) akan mempengaruhi dalam mengambil keputusan terutama dalam menangani penyakit gagal ginjal kronis dengan terapi hemodialisis sehingga klien dihadapkan pada masalah yang sangat kompleks (Toya, 2002).
2. Jenis kelamin
Wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding dengan pria, secara biologis kelenturan tubuh wanita akan mentoleransi terhadap stres menjadi baik dibanding pria (Siswanto, 2007).
Yeh (2009) mendapatkan dalam penelitian yang dilakukan bahwa, jenis kelamin / jender sangat mempengaruhi dalam berespon terhadap penyakit, stres, serta penggunaan koping dalam menghadapi masalah kesehatan khususnya hemodialisis.
3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi dan pengontrolan terhadap stressor lebih baik (Siswanto, 2007).
Notoatmodjo (2003) menjelaskan pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.
4. Status perkawinan
Yosep (2007) menjelaskan salah satu penyebab stress psikososial yaitu status perkawinan dimana berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami seseorang, misalnya pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian pasangan, dan lain sebagainya. Stressor ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
5. Status Ekonomi
Notoadmodjo, 1997, dalam indonesianursing (2008) menjelaskan tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karna tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar tranportasi.
Masalah keuangan (kondisi ekonomi) yang tidak sehat akan menyebabkan problem keuangan yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang (Yosep, 2007).
Tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pemilihan metode terapi yang akan digunakan oleh klien gagal ginjal kronis. Biaya yang harus dikeluarkan oleh klien cukup besar meliputi obat, pemeriksaan laborat, transportasi, hemodialisis dan transplantasi. Aspek penting lain dari biaya adalah adanya komplikasi atau efek samping yang timbul akibat tindakan hemodialisis dan transplantasi (indonesianursing, 2008).
6. Lama pemberian terapi
Pada penderita gagal ginjal grade 2 dan grade 3 yang tanpa disertai dengan berbagai komplikasi yang memperburuk fungsi ginjal sehingga jatuh dalam kondisi gagal ginjal terminal tentu saja memiliki angka keberhasilan atau harapan hidup lebih baik dibandingkan yang sudah gagal ginjal terminal dengan komplikasi yang berat. Terapi haemodialisis akan sangat dirasakan manfaatnya bagi mereka yang dari awal sudah diketahui ,ada indikasi dan langsung dirujuk untuk menjalani terapi haemodialisis (indonesiannursing, 2008).
Menurut iskandarsyah (2006), mereka yang menjalani hemodialisis lebih dari 4 tahun telah mampu menyesuaikan diri dengan penyakitnya.

7. Frekuensi terapi hemodialisis
Sapri (n,d) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa semakin lama pasien menjalani HD, semakin patuh dan pasien yang tidak patuh cenderung merupakan pasien yang belum lama menjalani HD, karena pasien sudah mencapai tahap accepted (menerima).


















E. Penelitian Terkait Dengan Strategi Koping Pada Pasien Hemodialisis
Suryadinata & neneng (n.d), dalam tesis yang berjudul stres dan koping pada penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis, memaparkan bahwa stressor yang dihadapi pasien hemodilaisis berasal dari penyakitnya dan upaya koping yang dilakukan adalah gabungan antara emotion focused coping dan problem focused coping.
Cinar S, Barlas GU, Alpha SE (2009), dengan judul penelitian yang dilakukan di Turki yaitu Stressors and coping strategies in hemodilysis patients, menjelaskan bahwa terdapat 24 jenis stressor yang dapat muncul pada pasien hemodialisis dan terbanyak yaitu keterbatasan, kelemahan, ketidakpastian masa depan, keterbatasan aktifitas, dan ketergantungan hidup terhadap mesin hemodialisis. Dalam menghadapi stressor yang mereka alami, mereka menggunakan strategi mekanisme koping dengan 15 cara (multipel regresi) , dan rata-rata mereka dalam menghadapi stressor dengan menggunakan strategi koping berupa pendalaman agama , active coping, supresi ke aktifitas, penerimaan, dan perlawanan.
Yeh, S.C.J, et.al (2009) melakukan penelitian di Taiwan dengan judul Gender differences in stress and coping among elderly patients on hemodialysis, dari alat ukur yang digunakan (hemodialysis stressor scale) terdapat perbedaan asal stres yang dirasakan oleh masing-masing jender, yaitu untuk wanita lebih merasakan stressor berasal dari perubahan fisik dan masalah pembuluh darah, sedangkan pada pria stressor tertinggi yaitu penurunan fungsi reproduksi. Dengan menggunakan Jaloweic coping scale, dan strategi koping yang terbanyak digunakan oleh kedua jender tersebut yaitu emotion orientation, support seeking, dan avoidance orentation.




BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL


A. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teoritis yang telah dikemukakan pada tinjauan pustaka, maka kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut :


Gagal ginjal kronik

Hemodialisis
Stres








Keterangan : Variabel yang diteliti


BAB IV
METODE PENELITIAN


A. Rancangan Penelitian
Penelitan deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan, baik berupa faktor risiko maupun efek atau hasil. Data yang dihasilkan disajikan apa adanya & tidak dianalisis mengapa fenomena itu terjadi, karena itu penelitian deskriptif tidak dipelukan hipotesis (Sastroasmoro, 2008).
Rancangan penelitian deskriptif bertujuan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial, ekonomi, pekerjaan, status perkawina, cara hidup (pola hidup) dan lain-lain (Hidayat, 2007).
Penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional bersifat deskriptif yang bertujuan memperoleh gambaran tentang mekanisme koping yang digunakan pasien hemodialisis diruang hemodialisis Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.

B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada Minggu ke-3 Bulan November 2009, diruang Hemodialisis Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.

C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono 2004, dalam Hidayat 2007).
Pada penelitian ini populasi penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisis Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sostroasmoro, 2008).
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisis Rumah Sakit labuang Baji Makassar yang dengan menggunakan total sampling yaitu semua pasien yang menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisis Rumah Sakit labuang Baji Makassar sebanyak 35 Orang yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi dalam penelitian ini :
1) Pasien gagal ginjal kronik, yang menjalani hemodialisis.
2) Pasien hemodialisis yang menjalani perawatan inap dan rawat jalan, dengan frekuensi hemodialisis > 1 kali dalam 1 tahun terakhir.
3) Pasien hemodialisis berusia dewasa (19 tahun) sampai dengan lansia (> 65 tahun).
4) Pasien hemodialisis dengan tingkat pendidikan minimal sekolah dasar, hal ini memudahkan pemahaman individu terhadap alat ukur yang diberikan.
5) Pasien hemodialisis dengan pembiayaan hemodialisis secara mandiri ataupun bantuan pihak lain.
6) Pasien dengan kesadaran Compusmentis dan komunikasi baik.
7) Pasien yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.
b. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini :
1) Pasien gagal ginjal kronik, yang tidak menjalani hemodilaisis.
2) Pasien hemodialisis yang hanya melakukan hemodialsis 1 kali dalam 1 tahun terakhir.
3) Pasien hemodialisis anak dan remaja (< 19 tahun).
4) Pasien dengan ketidakmampuan berkomunikasi.
5) Pasien dengan penurunan kesadaran
6) Pasien yang tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

D. Alur Penelitian
Dalam penelitian ini proses pengambilan dan pengumpulan data diperoleh setelah sebelumnya mendapat izin dari pihak terkait dalam hal ini Rumah Sakit Labuang Baji Makassar. Sebagai langkah awal penelitian, peneliti akan menyeleksi responden dengan berpedoman pada kriteria inklusi yang telah ditentukan. Setelah mendapatkan responden maka langkah berikutnya meminta persetujuan dari responden dengan memberikan surat persetujuan menjadi responden (informed concent).
Setelah mendapatkan persetujuan responden, kuesioner dibagikan kepada responden yang berkaitan dengan gambaran mekanisme koping dengan terlebih dahulu menjelaskan cara pengisiannya, kemudian kuesioner dikumpulkan untuk dilakukan pengolahan data sesuai urutan pengolahan data, setelah dilakukan analisa dan penyajian data hasil penelitian. Penjelasan akan disederhanakan pada skema berikut.















E. Identifikasi dan Definisi Operasional
1. Identifikasi Variabel
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2005).
Sastroasmoro (2008) mengartikan variabel sebagai karakteristik subjek penelitian.
Variable yang diteliti pada penelitian ini yaitu gambaran mekanisme koping pasien hemodialisis.
2. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah mengidentifikasi variable secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secaraa cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian (Hidayat, 2007). Definisi operasional pada penelitian ini yaitu :
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping adaptif adalah cara-cara konstruktif yang digunakan oleh pasien hemodialisis, dengan penilaian dari kuesioner penelitian yang terdiri dari 12 item pernyataan yang berada di nomor genap. Masing-masing diberi penilaian antara 1 - 4 dengan penilaian sebagai berikut :
Nilai 4 : Selalu (S) Nilai 3 : Sering (SR)
Nilai 2 : Kadang-kadang (KK) Nilai 1: Tidak pernah (TP)
Alat ukur yang diguanakan yaitu skala Likert, dengan kriteria objektif yaitu :
Koping Adaptif bila skor : 25 - 48
Koping Mal adaptif bila skor : 12 – 24
b. Mekanisme koping mal adaptif
Mekanisme koping mal adaptif bila menggunakan cara-cara konstruktif, dengan penilaian kuesioner penelitian yang terdiri dari 12 item pernyataan yang berada di nomor ganjil.
Masing-masing diberi penilaian antara 1 - 4 dengan penilaian sebagai berikut :
Nilai 4 : Selalu (S) Nilai 3 : Sering (SR)
Nilai 2 : Kadang-kadang (KK) Nilai 1: Tidak pernah (TP)
Alat ukur yang diguanakan yaitu skala Likert, dengan kriteria objektif yaitu :
Koping Adaptif bila skor : 25 - 48
Koping Mal adaptif bila skor : 12 – 24


F. Rencana Pengolahan dan Analisa Data
1. Pengolahan data
a. Editing
Setelah semua data diedit ulang, kemudian dilakukan pemeriksaan kelengkapan data, kesinambungan data keseragaman data.
b. Koding
Untuk memudahkan pengolahan data, maka semua jawaban diberi simbol-simbol tertentu untuk setiap jawaban dengan pengkodean.
c. Tabulating
Menyusun data-data kedalam tabel yang sesuai dengan analisis dan selanjutnya data tersebut dianalisis.
d. Setelah data ditabulasi maka pengolahan dilakukan dengan komputer program SPSS for windows versi 16 yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
2. Analisa Data
Hidayat (2007) Analisis data yang diguanakan pada penelitian deskriptif yaitu analisis deskriptif berfungsi untuk meringkas, klasifikasi, dan menyajikan data (mean, median, modus, simpang baku, dan varians).
Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan statistik deskriptif yang mengambarkan cara meringkas, menyajikan, dan mendeskripsikan suatu data untuk mudah dipahami dan memiliki makna.

G. Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah self report informasi form yang disusun untuk mendapatkan informasi yang diharapkan dari responden sesuai dengan pernyataan (Nursalam & Pariani, 2006).
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu, untuk pengumpulan data tentang lamanya pemberian terapi hemodialisis didapatkan dengan observasi, dan untuk pengumpulan data tentang mekanisme koping yang digunakan pasien hemodialisis menggunakan kuesioner dengan skala Likert dengan empat tipe pilihan, dimana kuisoner terdiri dari ; Mekanisme koping adaptif terdiri dari 12 item pernyataan serta mekanisme koping mal adaptif yang terdiri dari 12 item pernyataan, dengan penilaian :
Selalu (S) : 4
Sering (SR) : 3
Kadang-kadang (KK) : 2
Tidak pernah (TP) : 1
Tipe jawaban seperti ini disebut juga dengan fixed alternative, dimana alternatif jawabannya telah ditetapkan oleh peneliti, dan responden diharapkan untuk memberikan respon jawaban dari pilihan yang tersedia (Lubis, 2006).

H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian yang meliputi :
1. Informed consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.
2. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

12 komentar:

Ria... mengatakan...

assalamu'alaikum
boleh tau daftar pustaka dari iskandariyah, 2006?!
terimaskih sebelumnya...

hamka, s.kep mengatakan...

thanks kunjungannya raiya, daftar pustaka untuk iskandarsyah :

Iskandarsyah, Aulia., (2006). ‘Hubungan antara health locus of control dan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis di RS.NY.R.A.Habibie Bandung, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran’. p.26

Anonim mengatakan...

asalamu'alaikum
boleh tau kusioner mekanisme kopingnya seperti ap??
apakah itu adopsi dari peneltian lain atau membuat instrumen sendiri?
terima kasih sebelumnya

hamka,s.kep,ns mengatakan...

waalaikumsalam, alhamdulillah kuesionernya saya buat sendiri dengan melalui uji kuesioner (realibilitas) 3x berturut turut. untuk kuesioner & hasil ujinya silahkan email ke saya.

zahra mengatakan...

assalamu alaikum...
mas boleh tau daftar-daftar pustaka yang dipakai untuk tinjauan pustaka "mekanisme koping"?
terima kasih sebelumya....

Anonim mengatakan...

boleh tahu daftar pustaka indonesianursing (2008).. ? trimakasih

Anonim mengatakan...

bung Hamka, bisa tahu alamat emailnya ? saya ingin tahu seluruh daftar pustakanya, krn sy jg lg buat skripsi tentang strategi koping. nih email saya muhammadmuamil@yahoo.co.id

hamka mengatakan...

terimakasih untuk partisipasinya, untuk daftar pustaka saya akan mengirimkan via email. silahkan send email ke qtek_ham@yahoo.co.id

Anonim mengatakan...

bung hamka, saya sudah kirim email. terimakasih.

ecysmyucha mengatakan...

daftar pustakax dlu gang.....

Unknown mengatakan...

bang minta daftar pusaka dong ..
kirim ke kiechirr@gmail.com yaa ..
makasihh..

Anonim mengatakan...

assalamualaikum, bung Hamka

ngerepotin dikit, boleh minta kirim kuesioner dan daftar pustakanya ke everblack8@yahoo.com

terimakasih sebelumnya wassalam